Jumat, 19 Maret 2010

Si Hitam dari Temanggung.

Banyak dicari untuk perlengkapan upacara ritual dan penyembuhan penyakit. Harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

PENAMPILANNYA serba hitam: mulai dari paruh, bulu, kaki, taji, hingga cenggernya berwarna hitam. Bahkan, kalau dipotong, dagingnya juga hitam. Begitu juga dengan tulang belulangnya. Itulah ayam cemani, salah satu variasi paling sensasional keturunan dari kerabat ayam kedu -salah satu galur ayam lokal, bukan ras (buras) -yang banyak dicari orang.

Ayam hitam yang juga dijuluki dengan ayam kedu itu sering digunakan untuk hal-hal yang sifatnya magis dalam upacara ritual. Misalnya untuk upacara pelarungan, ruwatan, serta pembangunan pabrik, jembatan, atau gedung-gedung bertingkat. Tak cuma itu. Ayam cemani juga sering dijadikan syarat untuk penyembuhan orang sakit. "Yaitu untuk yang sakit aneh atau sakit dalam. Kadang untuk syarat pengobatan bagi orang yang sakit akibat disantet," ujar Sekretaris Desa Kedu, Harsono, yang juga pemilik dan pengembang ayam cemani, kepada Gatra.

Ayam cemani disebut juga "ayam kedu", karena berkaitan dengan tempat penangkarannya di Desa Beji, Kecamatan Kedu, Jawa Tengah. Kota kecamatan berhawa sejuk itu dikenal sebagai tempat beternak yang cocok bagi ayam kampung berbadan gempal dan tahan penyakit itu. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun.

Sebenarnya, kehadiran ayam cemani di Kedu tak disengaja. Konon, menurut legenda, sebelum lahirnya kota Temanggung, adalah seorang pertapa sakti, Ki Ageng Makukuhan, yang menggemari ayam serba hitam -dan hanya paruhnya yang berwarna putih. Pada suatu hari, saat bersemadi di sebuah kuburan keramat di daerah Kedu, Ki Ageng Makukuhan mendapatkan wangsit untuk mengobati penyakit anak Panembahan Hargo Pikukuh bernama Lintang Katon, dengan ayam itu. Entah bagaimana caranya, akhirnya penyakit yang diderita anak semata wayang itu sembuh. Akhirnya, ayam berwarna serba hitam kesayangan Ki Ageng Makukuhan itu dijadikan lambang kesembuhan.

Perkembangannya pun di luar dugaan. Hasil perkawinan sesama ayam hitam itu menghasilkan ayam hitam total, berbeda dengan induknya. "Kalau ayam kedu hitam, mulutnya masih putih," kata Harsono. Karena hitam total itulah, akhirnya ayam jenis baru itu dinamai ayam cemani. Dalam bahasa Sanskerta, cemani artinya hitam legam.

Sebutan ayam cemani baru populer pada l960-an, ketika berbagai upacara peresmian bangunan dilengkapi dengan sesaji ayam serba hitam. Mulai saat itulah banyak orang yang datang ke Kedu untuk mencari ayam cemani. Tak mengherankan jika harganya ikut melonjak. Itu merangsang masyarakat setempat untuk beternak dan mengembangkan ayam cemani.

Sayangnya, masyarakat setempat kurang dibekali pengetahuan memadai. Akibatnya, banyak di antara mereka yang gulung tikar di tengah jalan. "Populasi ayam cemani tinggal 2.000-an ekor pada akhir 1997. Padahal, dulu bisa sepuluh kali lipatnya," tutur Harsono.

Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah daerah melalui pemerintah desa membuat program-program khusus pelestarian hewan langka itu di daerah Kedu, dengan mendirikan kelompok peternak ayam cemani bernama "Makukuhan" -diambil dari nama pertapa sakti tersebut.

Kelompok yang berjumlah 35 orang itu memelihara ayam cemani sekitar 1.500 ekor. Menurut Harsono, kelompok ini cukup produktif dan selalu dipantau perkembangannya oleh Dinas Peternakan Temanggung. "Anggota kelompok itu terangkat kehidupannya dengan beternak ayam mahal ini," ujar Harsono.

Hal itu dibenarkan Mahmud, pensiunan ABRI yang menekuni peternakan ayam cemani. Bahkan, Mahmud meminta masa pensiunnya dipercepat tiga tahun agar bisa lebih mengonsentrasikan diri beternak ayam cemani. Di rumahnya, di Kampung Beji, pensiunan dengan pangkat sersan dua itu memelihara 50-an ayam cemani.

Penempatan ayam dibedakan menurut jenis umur dan keunggulannya. Ayam cemani yang unggul dikurung di halaman samping rumah dengan pagar tinggi yang terbuat dari bambu. Sedangkan ayam kedu lainnya ditaruh di kebun khusus seluas sekitar 900 meter persegi. Awalnya, Mahmud hanya memiliki dua ekor ayam, jantan dan betina.

Menurut bapak tiga anak itu, kedua ayam cemani tersebut merupakan keturunan dari ayam kedu yang dipelihara sebelumnya. "Saya memang hobi memelihara ayam kedu, seperti masyarakat di sini pada umumnya. Tapi dari kedua ekor ayam itu, tahu-tahu muncul dua ekor ayam cemani, serba hitam sampai lidah dan mulutnya, ya langsung kita pisahkan dan dibiakkan," katanya. Kalau dirupiahkan, modal awal Mahmud hanya sekitar Rp 5.000.

Seperti peternak lainnya, motivasi Mahmud memelihara cemani adalah untuk bisnis guna menghidupi keluarganya. "Bayangkan, gaji pensiunan terbatas. Maka, bisnis ayam cemani sangat membantu. Berkat ayam cemani pula, anak kami bisa kuliah di Yogyakarta," kata Mahmud, yang kedua anaknya sudah kuliah di semester terakhir pada sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Sebelum krisis moneter, Mahmud sering didatangi pembeli. Setiap bulan ia bisa menjual sampai 10 ayam cemani jenis bagus dan biasa. "Setelah krisis ekonomi, bisa menjual dua ekor sebulan saja sudah untung," katanya. Harga ayamnya pernah mencapai Rp 2 juta.

Biaya pemeliharaannya juga tak terlalu besar. Menurut Mahmud, untuk 50 ekor ayam peliharaannya, ia hanya mengeluarkan biaya sekitar Rp 30.000 setiap bulan. "Tapi pada masa krisis sekarang, biayanya meningkat tiga kali lipat," ujarnya.

Selain beternak ayam, Mahmud juga menggarap sawah bersama beberapa tetangganya. Kehidupannya bersama penduduk Beji cukup makmur. Rumah permanen, pesawat televisi, dan berbagai peralatan modern di dapur terlihat nangkring cukup rapi. "Itu semua bisa dibeli berkat ayam cemani," ujar peraih hadiah Prestasi Kencana, pecinta lingkungan bidang peternakan tingkat Jawa Tengah, l99l, itu.

Mahmud menuturkan, ia pernah mendapat surat khusus dari Bupati Jembrana, Bali, pada l986. Sang bupati hendak membeli ayam cemani untuk pengobatan penyakit istrinya. "Saya bangga, ayam-ayam saya berguna bagi orang lain. Apalagi secara tidak langsung, pemeliharaan ayam ini merupakan upaya pelestarian ayam cemani dan ayam kedu," kata bapak yang sudah mulai memutih rambutnya itu.

Bahwa ayam cemani dapat mendatangkan kemakmuran penduduk, diakui Harsono. "Desa kami tak mendapatkan bantuan IDT (Insus Desa Tertinggal), karena terangkat berkat cemani. Anak saya sendiri kuliah dari cemani," katanya. Penduduk Kedu, sejumlah 1.138 kepala keluarga, kebanyakan memelihara ayam cemani. Perangkat Desa Kedu itu mengaku, tanah bengkok yang dijadikan jaminan sosial bagi jabatannya kadang belum cukup untuk menghidupi keluarganya. "Kami pelihara cemani, di samping untuk pelestarian, kami jual untuk biaya tambahan," kata ayah enam anak itu.

Itu dibenarkan Agus Prasojo, Kepala Seksi Penyuluhan Dinas Pertanian Temanggung. "Ayam itu sengaja kami programkan untuk dikembangkan menjadi jati diri masyarakat Temanggung," ujarnya. Dan pemerintah merasa diuntungkan dengan meningkatkannya kemakmuran masyarakat.

Menurut Harsono, mahalnya harga ayam cemani itu karena adanya kesepakatan antara pembeli dan penjual. Kadang, pemilik cemani akan melihat siapa pembelinya, dan untuk apa. Jika pembeli menginginkan syarat tertentu, misalnya meminta cengger ayam harus besar berbentuk pilah, atau kakinya harus cacat, atau syarat lainnya, maka ayam yang memenuhi syarat itu harganya bisa mencapai Rp 3 juta. Tapi yang biasa-biasa saja, hanya sekitar Rp 400.000. Pembeli yang datang ternyata tak hanya dari Indonesia, melainkan juga dari mancanegara, misalnya Jepang, Jerman, dan Belanda.

Meski kebanyakan ayam cemani digunakan untuk hal-hal ritual dan pengobatan, masyarakat peternak cemani tak memandang ayamnya istimewa. "Kami memberinya kandang khusus bukan untuk tujuan magis. Sekadar untuk menjaga keamanan dan kesehatan ayam, karena harganya mahal," ujar Harsono.

Peternak sukses lainnya adalah Istono Rahayu, 51 tahun. Seperti halnya Mahmud dan Harsono, Istono beternak ayam cemani untuk bisnis. "Pekerjaan tiap hari saya ya bergelut dengan cemani dan perkutut di rumah ini, yang lain tidak ada," katanya. Penataan kandang-kandang ayam cemani milik Istono Rahayu, di halaman rumah seluas 200 meter persegi, tampak lebih rapi dan tertata apik. Sebagai peneduh, ia menanam pohon-pohon salak pondoh. "Karena ayam-ayam itu menghidupi keluarga kami, ya kami perlakukan seperti raja. Kami buatkan Istono," kata bapak yang sanggup menyekolahkan kedua anaknya hingga tingkat universitas itu.

Menurut Istono, biasanya pada bulan Rajab, Ruwah, dan Muharam, banyak pembeli yang datang. Mereka membeli ayam cemani untuk upacara ritual. "Lima tahun lalu, saat menjelang Sidang Umum MPR di Jakarta, banyak permintaan," kata Istono.

Kabarnya, sekarang ini pun banyak pesanan dari Jakarta. Konon untuk keperluan Sidang Umum MPR. Ada yang memesan lima ekor ayam cemani yang bagus. "Entah diapakan ayam cemani itu, kok bisa dikaitkan dengan keamanan Sidang Umum MPR atau keberhasilan pejabat tertentu. Yang saya tahu hanya bagaimana memelihara dan menjualnya dengan harga mahal," ujar Istono sembari tertawa.

Krisis ekonomi saat ini membuat para peternak prihatin. Harga pakan ternak, terutama jagung, terus melonjak. Untuk menyiasatinya, Istono memberikan banyak makanan beras hitam sebagai pengganti jagung yang sesekali diberikan.

Agar pembeli tak terkecoh, Istono menjelaskan ciri-ciri khusus ayam cemani yang hitam total. Hanya darahnya yang merah tua. Tak ada darah yang hitam. "Penjual biasanya mencabut bulu, dan memerasnya. Di ujung bulu akan keluar cairan hitam. Itu bukan darah, melainkan pigmen bulu yang hitam. Maka pembeli jangan mau dibohongi, tak ada darah hitam di ayam cemani. Mungkin satu di antara seribu," ujarnya.

Menurut Karkono Partokusumo Kamajaya, pemerhati sastra Jawa, pemakaian ayam cemani untuk upacara-upacara ritual itu hanya untuk perlambang. Orang Jawa memang merasa tak lengkap kalau tak ada perlambang itu. "Tapi saya tak perlu menangisi andaikan penggunaan ayam cemani dihilangkan dari hal-hal yang sifatnya magis itu. Bukankah itu adat yang dibuat manusia?" kata penerjemah Serat Centhini itu.http://home.planet.nl/~stev7596/gatra.htm

Rudy Novrianto dan Khoiri Akhmadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar